Selama ratusan tahun tinggal di Yogyakarta - Indonesia, Bangsa Belanda meninggalkan sejumlah bangunan bersejarah dengan arsitektur bergaya Eropa yang masih bisa Anda nikmati keindahannya hingga kini.
Wisata Arsitektur diantaranya :
1. Loji.
2. Bintaran.
3. Kota Baru.
1. LOJI
Selama ratusan tahun mendiami Indonesia, termasuk Yogyakarta, Belanda meninggalkan sejumlah bangunan bersejarah. Bangunan-bangunan itu oleh warga Yogyakarta sering disebut loji karena ukurannya yang besar dengan halaman yang luas. Beberapa loji peninggalan itu kini bisa dinikmati keindahannya dengan sedikit biaya, hanya perlu menyusuri kawasan pusat kota Yogyakarta, bermula dari perempatan Kantor Pos Besar atau kilometer 0.
Sejumlah loji bangunan Belanda yang memiliki fungsi beragam kini bisa dinikmati kemegahannya. Loji Kecil, Loji Besar, Loji Kebon bahkan Loji Setan, semua menyuguhkan cerita sejarah tersendiri.
Loji tertua di Yogyakarta terletak persis di seberang Kantor Pos Besar, yaitu sebuah bangunan yang kini dinamai Benteng Vredeburg. Bangunan benteng yang sering disebut Loji Besar atau Loji Gede itu dibangun pada tahun 1776 - 1778, hanya dua tahun berselang setelah berdirinya Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, salah satu pecahan kerajaan Mataram. Benteng yang semula bernama Rustenburg itu konon sengaja didirikan di poros Kraton - Tugu agar bisa mengawasi gerak-gerik Kraton.
Sebagai sebuah benteng, kawasan Loji Besar dilengkapi dengan beragam bangunan yang mendukung, misalnya tempat pengintaian hingga peristirahatan bagi para serdadu. Semasa Loji Besar masih digunakan sebagai benteng, terdapat sebuah meriam yang sengaja diarahkan ke Kraton dalam posisi siaga tembak sehingga memudahkan penyerangan. Hal itu dilakukan agar pihak Kraton mengakui bahwa Belanda memiliki kekuatan.
Kini, anda bisa menyusuri setiap sudut Loji Besar tersebut karena kawasan itu telah dibuka untuk umum. Selain bangunan benteng yang memiliki rancang bangun khas Eropa, anda juga bisa melihat diorama perjuangan Indonesia meraih kemerdekaan. Satu yang janggal dari benteng ini adalah namanya yang tak cocok dengan gambaran sebuah benteng, Rust berarti istirahat, vrede berarti perdamaian sedangkan burg berarti benteng. Rustenberg yang berarti benteng peristirahatan atau Vredeburg yang berarti benteng perdamaian jelas bukan nama yang tepat.
Dari Vredeburg, sebuah loji yang paling terlihat adalah Loji Kebon, kini dikenal dengan nama Gedung Agung. Bangunan yang juga bergaya eropa itu didirikan tahun 1824 dan digunakan sebagai Gedung Karesidenan. Halaman Loji Kebon sangat luas dan dihiasi arca-arca yang dikumpulkan para pejabat Belanda dari penjuru kota Yogyakarta. Tahun 1912, kompleks Loji Kebon dilengkapi dengan bangunan Societeit de Vereniging, tempat pejabat Belanda berdansa dengan iringan biola.
Seperti halnya Loji Besar, Loji Kebon pun juga menjadi saksi sejarah. Pembangunan gedung yang dirancang A Payen ini sempat berhenti karena Perang Diponegoro tahun 1825 - 1830 yang hampir membuat pemerintah Belanda bangkrut. Pada Masa Jepang, gedung ini menjadi kediaman petinggi Jepang bernama Koochi Zimmukyoku Tyookan. Demikian pula sejak ibukota Indonesia berpindah ke Yogyakarta 6 Januari 1946, gedung ini menjadi istana kepresidenan. Hingga kini, meski ibukota Indonesia berpindah lagi ke Jakarta, gedung ini tetap berstatus istana kepresidenan.
Kawasan loji lain adalah Loji Kecil yang berlokasi di sebelah timur Vredeburg kini, tetapnya wilayah Shopping hingga hampir perempatan Gondomanan. Berbeda dengan Loji Besar yang berfungsi sebagai benteng dan Loji Kecil yang berfungsi sebagai gedung pemerintahan, Loji Kecil berfungsi sebagai wilayah hunian. Kini, meski tinggal segelintir, anda masih bisa menikmati beberapa bangunan lawas itu, diantaranya yang berada di kompleks Taman Pintar. Di kawasan itu juga terdapat Gedung Societet Militair yang dahulu digunakan sebagai tempat para serdadu militer Belanda bersantai.
Kawasan Loji kecil merupakan pusat kawasan hunian orang Belanda pertama di Yogyakarta. Sejumlah fasilitas pendukung kini juga masih bisa dinikmati keindahannya, misalnya gereja Protestansche Kerk yang berdiri tahun 1857 (kini menjadi Gereja Kristen Marga Mulya, berlokasi di utara Gedung Agung) dan Gereja Fransiskus Xaverius Kudul Loji (bangunan lama) yang berdiri tahun 1870, berada di sebelah selatan kawasan Loji Kecil.
Satu kawasan loji lain yang tak kalah menarik adalah Loji Setan. Dinamakan demikian karena gedung yang hingga kini tak diketahui tahun pembangunannya itu dikenal angker. Banyak orang mengatakan, pada ruang sebelah timur dan aula tengah sering terdengar suara orang minta tolong dan suara iringan musik dansa. Gedung yang kini berfungsi sebagai kantor DPRD ini menurut cerita pernah disinggahi Gubernur Jendral Raffles pada tanggal 15 Mei 1812, saat Belanda sudah berkuasa di Yogyakarta.
Loji Setan sejak beberapa lama memiliki beragam fungsi. Di masa lalu, gedung ini sering digunakan untuk tempat bermeditasi dan sebagai ruang pameran, misalnya pameran oleh Luch Bescherming Dienst pada tahun 1940. Pasca Kemerdekaan, gedung yang pada awalnya bernama Loji Marlborough ini digunakan sebagai kantor Komite Nasional Indonesia (1945 - 1949), kantor Dewan Pertahanan Negara dan penyelenggaraan sidang Kabinet (1948).
Kelilingilah setiap loji, sepenggal demi sepenggal cerita yang didapat akan memperkaya wawasan sejarah anda.
2. BINTARAN.
Bintaran berkembang seiring laju jaman. Bermula dari wilayah kediaman Pangeran Haryo Bintoro pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono, kawasan ini berkembang menjadi area pemukiman Indische pada tahun 1930an.
Seperti umumnya pemukiman Indis, Bintaran juga memiliki fasilitas gereja. Yang unik, gereja Bintaran didirikan atas ide orang Jawa yang merasa tidak sreg dengan cara berdoa orang Belanda. H. van Driessche. SJ, seorang keturunan Belanda Indonesia menjadi koordinator pendirian gereja yang berlokasi di ujung selatan Jalan Bintaran ini. Penamaan gereja yang berdiri tahun 1931 ini menjadi Gereja Santo Yusuf berkaitan dengan permohonan Driessche pada Santo Yusuf ketika sulit mencari lokasi gereja.
Bintaran, Dari Kediaman Pangeran Bintoro ke Kawasan Indisch
Sama seperti Kotabaru, Bintaran merupakan kawasan hunian alternatif bagi orang Belanda yang menetap di wilayah Indonesia, berkembang setelah kawasan Loji Kecil tak lagi memadai. Dari segi fisik, kawasan yang bisa ditempuh dengan berjalan ke timur dari perempatan Gondomanan itu tak begitu pesat perkembangannya seperti Kotabaru. Salah satu faktornya adalah letaknya yang masih dekat dengan Loji Kecil sehingga beragam fasilitas masih bisa diakses dengan mudah.
Sebelum berkembang menjadi pemukiman Indisch, Bintaran dikenal sebagai tempat berdirinya Ndalem Mandara Giri, kediaman Bendara Pangeran Haryo Bintoro, salah satu trah Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Perkembangan Bintaran sebagai pemukiman Indische diperkirakan dimulai tahun 1930an ditandai pembangunan rumah, fasilitas seperti gereja dan bahkan penjara. Umumnya, orang Belanda yang bermukim di Bintaran adalah yang bekerja sebagai opsir dan pegawai pabrik gula.
Seperti halnya kampung Indische lainnya, ketika YogYES berkunjung, Bintaran dihiasi dengan bangunan-bangunan yang berarsitektur khas Eropa. Meski demikian, ciri bangunan di wilayah Bintaran berbeda dengan bangunan di Loji Kecil ataupun Kotabaru. Halaman bangunan yang berdiri di kawasan Bintaran lebih luas, sementara bagian depan rumah lebih kecil, mempunyai banyak pilar, daun pintu luar berbentuk krepyak serta daun pintu dalam dihiasi kaca.
Bangunan menawan secara arsitektural dan bernilai sejarah yang terdapat di tempat ini tentu saja adalah Ndalem Mandara Giri. Arsitektur bangunan ndalem tersebut merupakan perpaduan Jawa dan Belanda. Ciri Jawa terlihat dari adanya pendopo yang bahan-bahannya khusus didatangkan dari Demak pada tahun 1908. Sementara, ciri bangunan Belanda terlihat dari ruangan yang lebar dan berdinding tinggi serta jendela khas Belanda yang besar dan memiliki dua daun.
Setelah ditinggalkan Pangeran Haryo Bintoro, bangunan ini sempat ditinggali oleh trah kraton lainnya. Pendopo ndalem yang cukup lebar sejak lama telah digunakan sebagai ruang pameran keris, bahkan setelah rumahnya sendiri dikosongkan sejak tahun 1997. Kini, bangunan yang bisa ditemui dengan di pertigaan pertama setelah berbelok ke kiri dari Jalan Sultan Agung ini dimanfaatkan sebagai kantor Karta Pustaka, sebuah lembaga Indonesia Belanda.
Bangunan bersejarah lain juga bisa ditemukan tak jauh dari Ndalem Mandara Giri. Salah satunya adalah Gedung Sasmitaloka Jenderal Soedirman yang bisa ditemui persis di sisi kiri jalan Jalan Bintaran. Dahulu, bangunan yang berdiri tahun 1890 itu dimanfaatkan sebagai kediaman pejabat keuangan puro Paku alam VII bernama Wijnschenk. Bangunan itu juga sempat menjadi rumah dinas Jendral Soedirman, kemudian kediaman Kompi Tukul setelah kemerdekaan.
Sementara, bangunan Museum Biologi yang berada di Jalan Sultan Agung dahulu dimanfaatkan sebagai tempat tinggal pengawas militer daerah Pakualaman. Kediaman seorang warga Belanda bernama Henry Paul Sagers, kini dimanfaatkan sebagai kantor Komando Pemadam Kebakaran. Bangunan bersejarah lain adalah penjara Belanda yang kini digunakan sebagai Lembaga Pemasyarakatan Wirogunan.
Seperti umumnya pemukiman Indis, Bintaran juga memiliki fasilitas gereja. Yang unik, gereja Bintaran didirikan atas ide orang Jawa yang merasa tidak sreg dengan cara berdoa orang Belanda. H. van Driessche. SJ, seorang keturunan Belanda Indonesia menjadi koordinator pendirian gereja yang berlokasi di ujung selatan Jalan Bintaran ini. Penamaan gereja yang berdiri tahun 1931 ini menjadi Gereja Santo Yusuf berkaitan dengan permohonan Driessche pada Santo Yusuf ketika sulit mencari lokasi gereja.
Selain semua bangunan dan sejarahnya, Bintaran kini juga menawarkan pesona lain, yaitu kulinernya. Salah satu yang cukup terkenal adalah Bakmi Kadin yang berlokasi di Bintaran barat.
3. KOTA BARU.
Kawasan Indische yang layak disebut sebagai salah satu wilayah paling maju di jamannya. Dibangun dengan konsep kota taman yang berpola radial, Kotabaru menjadi sebuah kawasan yang sejajar dengan Menteng, sebuah kawasan Indische di Jakarta.
Berjalan ke utara dari Kreteg Kewek, anda akan menemukan bangunan Gereja Santo Antonius Kotabaru. Ciri khas bangunan Eropa tampak pada bangunan menara tinggi di bagian depan gereja, tiang-tiang besar dari semen cor sebanyak 16 buah, juga plafon berbentuk sungkup. Gereja yang berdiri tahun 1926 dan semula bernama Santo Antonius van Padua ini mulai berkembang saat tempat ibadah semula di rumah Mr Perquin (depan Masjid Syuhada) sudah tak mencukupi lagi.
Kotabaru, Jelajah ke Kota Taman Tua
Udara sejuk akan menyapa begitu anda melintasi kawasan timur laut Malioboro, kawasan di seberang timur Sungai Code yang kini dinamai Kotabaru. Pohon-pohon rindang tumbuh di tengah ruas jalan, menaungi dari terik sinar matahari sekaligus membatasi lajur dua arah yang berbeda. Dengan bangunan-bangunan tua yang masih berdiri kokoh di sisi kanan kiri jalan, kawasan Kotabaru menjadi sebuah kawasan yang terlalu sayang untuk sekedar dilintasi.
Kotabaru, atau dulu disebut Nieuwe Wijk, adalah sebuah kawasan yang berkembang mulai tahun 1920 sebagai konsekuensi kian padatnya kawasan Loji Kecil. Kemajuan industri gula, perkebunan dan meningkatnya ketertarikan mengembangkan pendidikan dan kesehatan menyebabkan jumlah orang Belanda yang menetap di Yogyakarta semakin meningkat. Kotabaru menjadi kawasan hunian alternatif yang berfasilitas lengkap, sejajar dengan kawasan Menteng di Jakarta.
Kesan berbeda akan didapat begitu memasuki kawasan ini. Rancangan kawasannya tertata mengikuti pola radial seperti kota-kota di Belanda umumnya, berbeda dengan kawasan Yogyakarta lainnya yang kebanyakan masih tertata mengikuti arah mata angin. Pohon-pohon besar, tanaman berbunga dan tanaman buah yang banyak terdapat di kawasan ini menandakan bahwa Kotabaru dirancang sebagai garden city, dilengkapi boulevard dan ruas jalan yang cukup lebar.
Setiap sudut Kotabaru tidak saja indah, tetapi juga menyimpan cerita. Jalan Kewek yang menjadi gerbang selatan kawasan ini misalnya, menyimpan cerita yang cukup jenaka. Jalan berupa jembatan yang menghubungkan seberang timur dan barat Sungai Code itu sebenarnya dinamai Jalan Kerkweg, namun karena banyak orang Jawa sulit melafalkannya, namanya pun berubah menjadi Kewek. Karena berupa jembatan, jalan yang kini bernama Abubakar Ali itu juga disebut Kreteg Kewek.
Berjalan ke utara dari Kreteg Kewek, anda akan menemukan bangunan Gereja Santo Antonius Kotabaru. Ciri khas bangunan Eropa tampak pada bangunan menara tinggi di bagian depan gereja, tiang-tiang besar dari semen cor sebanyak 16 buah, juga plafon berbentuk sungkup. Gereja yang berdiri tahun 1926 dan semula bernama Santo Antonius van Padua ini mulai berkembang saat tempat ibadah semula di rumah Mr Perquin (depan Masjid Syuhada) sudah tak mencukupi lagi.
Memasuki relung Kotabaru selanjutnya, sejumlah gedung bersejarah akan dijumpai, diantaranya Gedung Kolese Santo Ignatius yang dulu digunakan sebagai kantor Kementrian Pertahanan, Gedung SMAN 3 sebagai gedung AMS, Gedung SMP 5 yang dahulu dipakai Normalschool, juga gedung SMU BOPKRI I yang digunakan sebagai gedung Christelijke MULO dan Akademi Militer. Anda juga akan menemui kantor Dinas Pariwisata yang menjadi tempat berakhirnya gerilya Jendral Soedirman, pahlawan nasional Indonesia yang terkenal dengan perjuangan gerilyanya.
Sebuah bangunan yang menonjol secara arsitektur adalah bangunan Gedung Bimo. Gedung tersebut dirancang dengan konsep art deco, sebuah rancang bangun yang berkembang pesat pada tahun 1920-1930-an, mengutamakan unsur tradisional setempat dengan tetap terbuka pada hal baru dan disertai semangat untuk berbeda dari bangunan umum yang sudah ada. Bentuk bangunan Gedung Bimo memanjang seperti bangunan khas Eropa lainnya, namun bagian atas depan tampil beda dengan bentuk lengkung.
Bangunan lain yang cukup menonjol dan bernilai sejarah adalah kantor Asuransi Jiwasraya. Pada masa Belanda, gedung ini dipakai sebagai rumah salah satu pegawai Asuransi Nill Maatschappij, sementara pada masa Jepang dipakai sebagai tempat tinggal Butaico Mayor Otsuka, perwira tinggi angkatan bersenjata Jepang. Tanggal 6 Oktober 1945, bangunan ini dipakai sebagai tempat perundingan Moh Saleh Bardosono dengan Otsuka dalam rangka penyerahan senjata.
Bila masih belum puas juga melihat bangunan-bangunan kuno, anda bisa menyusuri setiap relung Kotabaru. Sederetan bangunan kuno berarsitektur Belanda akan ditemui dengan mudah. Beberapa yang mempunyai nilai sejarah adalah gedung bekas Kementrian Luar Negeri yang berlokasi di simpul jalan menuju Jembatan Gondolayu, rumah Brigjend Katamso yang berada di sebelah timur Stadion Kridosono, serta bangunan gardu listrik rancangan khas Belanda.
Sudut-sudut Kotabaru kini berkembang dinamis. Terdapat sejumlah kafe tempat beristirahat setelah berwisata menikmati pesona kota tua, sebuah galeri seni tempat dilangsungkannya beragam pameran, juga tak ketinggalan tempat mencicipi berbagai masakan, bahkan tempat berolahraga. Pesona Kotabaru sebagai kota taman pun hingga kini masih bisa dinikmati dengan duduk dan berteduh di sisi kanan kiri jalan.
SEMOGA BERMANFAAT..!!
SALAM PARIWISATA..!!
< By "SISTON" TOUR AND TRAVEL >
Tidak ada komentar:
Posting Komentar